Manusia merupakan subjek dalam memberikan makna dari setiap teks, wacana ataupun symbol sehingga ia mampu menerjemahkan realitas dan fenomena melalui konstruksi dan cara berfikir yang dasarkan pada ceriminan dari sebuah system interaksi dari sebuah perwujudan realitas. Kemampuan manusia mampu berinteraksi dengan symbol dan atau hasil dari sebuah kebudayaan membuka peluang pemaknaan dan tanggapan yang berbeda antara sesama manusia yang tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat.
Kemudian, perbedaan pendapat disebabkan oleh bangunan atau tinjauan metodologis yang bersumber dari pengarang itu sendiri, teks dan pembaca yang dikondisikan oleh situasi historis. Ibarat ‘irab dalam ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) akan berubah-ubah tergantung pada situasi historis (‘amil) yang mempengaruhinya (memasuki). Sebab itu, situasi histori dan mitologi turut mempengaruhi makna, baik ditinjau dari pengarang, teks atau pembaca.
Lalu, bagaimana konsep pemaknaan kaitannya pada teks suci, dalam hal ini al-Qur’an. Penafsiran al-Qur’an dengan hermeneutika tentunya memiliki batasan-batasan sehingga tidak absurd dan tetap terjaga keluhurannya sebagai teks suci. Tidak sepuasnya seperti Roland Barthes yang mematikan pengarang (the death author), atau Derrida dengan dekonstruksinya memberikan ruang kebebasan imajinasi tanpa batas sehingga makna terkesan ganda dan bisa jadi saling bertentangan. Sebab itu, penerapan konsep hermeneutika dalam al-Qur’an mendapat beberapa tanggapan dari para intelektual muslim, baik yang setuju ataupun tidak. Namun, dalam bingkai alasan yang sama, yaitu kehati-hatian.
Detail:
Penulis: Ma’shum Nur Alim
Bahasa: Indonesia
Tahun Terbit: 2017
Halaman: xii + 124 hlm.
ISBN: 978-602-7775-88-6
Catatan:
Buku ini dapat di google book Play Store
No comments:
Post a Comment