Ayat-ayat pedang (ȃyȃt al-Saif, the Sword Verses) dalam al-Qur‟an sering digunakan sebagai sebuah landasan ideologis untuk melakukan tindak radikalisme. Tindakan seperti ini tidak saja menimbulkan ketegangan antar pemeluk agama namun juga menimbulkan konflik intra agama. Memang tindak radikalisme bukan sebuah barang baru dalam kehidupan agama apa pun di muka bumi. Pemahaman terhadap teks keagamaan (al-Qur‟an dan al-Hadis) tidak bisa dipungkiri berkontribusi besar bagi munculnya disintegrasi sosial (tindak radikalisme merupakan salah satu contohnya) di tengah masyarakat, lebih-lebih dalam masyarakat yang heterogen dan multikultural. Sejarah mencatat, konflik dan ketegangan di masyarakat sering kali muncul karena adanya pembacaan yang parsial serta hanya menggunakan pendekatan tekstual saja ketika memahami teks-teks alQur‟an dan al-Hadis.
Sebagaimana yang diingatkan oleh Imam Ali, al Qur‟an merupakan kitab yang “bisu” sehingga memerlukan seorang pembaca yang akan membuatnya berbicara. Peranan sang pembaca akan sangat
menentukan kemana arah petunjuk al-Qur‟an akan berjalan. Ketika al-Qur‟an dipamahi secara demokratis dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan maka al Qur‟an akan menjadi kitab yang sangat menjujung tinggi nilai-nilai humanisme dan menjadi kitab yang mendamaikan (rahmatan lil alȃmȋn).
Namun, sebaliknya mengunakan ideologi radikal sebagai kacamata bantu untuk memahami al-Qur‟an dan al-Sunnah hanya akan melahirkan kekerasan dan intoleransi terhadap kelompok masyarakat yang mempunyai beda pandangan maupun agama. Konflik, kebencian, permusuhan dan perang yang ditimbulkan oleh agama, atau yang disertai oleh faktor agama, terjadi tidak saja antaragama tetapi juga terjadi dengan kelompok masyarakat yang seagama. Bahkan, ada kalanya konflik intraagama dalam kasus-kasus tertentu tidak kalah parahnya dengan konflik antaragama. Secara historis, tercatat berbagai peristiwa memilukan yang terjadi antar kelompok agama Islam sendiri. Kaum khawarij ekstrim misalnya, menjadikan QS al-Maidah (5): 44 sebagai landasan untuk mengkafirkan orang orang Islam lainnya yang ikut dalam peristiwa tahkim (arbitrase). Dengan pembacaan yang radikal terhadap ayat tersebut mereka beranggapan bahwa Ali, Muawiyyah, Amr ibn al-Ash dan Musa al-Asy‟ari merupakan orang-orang kafir yang halal darahnya. Pada akhirnya Ali terbunuh oleh tangan salah seorang dari mereka yang melahirkan konflik berkepanjangan di tengah kaum muslimin.
Detail
Penulis: Farit Afrizal
Bahasa: Indonesia
Tahun Terbit: 2016
Halaman: xiv+ 246 hlm
ISBN: 978-602-7775-52-7
Catatan:
No comments:
Post a Comment