Penelitian ini berangkat dari kegelisahan penulis seputar pernyataan bahwa pemahaman seorang penafsir sangat mungkin dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan, disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, dan kondisi sosial politik. Memungkinkan juga dipengaruhi situasi tertentu yang melingkupi dirinya, baik berupa tradisi, kultur maupun pengalaman hidup. Selain itu, dalam banyak kasus, penafsiran al-Qur’an dipengaruhi oleh adat istiadat suatu daerah. Ungkapan tersebut senada dengan pernyataan Gadamer (2006), Fazlur Rahman (1982) dan Quraish Shihab (1998). Penolakan penelitian ini ditujukan pada ungkapan Rachel Marion Scott (2009), yang menyatakan bahwa penafsiran ayat al-Qur’an yang terikat pada konteks sejarah, sosial, dan politik, merupakan ide awal untuk keluar dari makna teks yang sebenarnya. Pada akhir penelitian ini dapat disimpulkan bawah penafsiran dan pemikiran politik HAMKA yang berkaitan dengan Kenegaraan tidak dapat dikategorikan menjadi sebuah konsep pemikiran politik yang secara menyeluruh menyerupai dengan salah satu konsep pemikiran politik dalam kalangan Islam. Karena pada dasarnya, gagasan pemikiran politik HAMKA yang berkaitan dengan persoalan Kenegaraan lebih menitik beratkan pada kultur sosial politik Indonesia, ia mencoba untuk menuangkan ide atau gagasan pemikiran yang sesuai dengan kultur sosial politik Indonesia. Penafsiran atau pemikiran HAMKA terkait politik dan kenegaraan disinyalir terpengaruh beberapa kejadian, diantaranya; kolonialisme, afiliasi politik, perumusan undang-undang.
Detail:
Penulis: Syafiuddin Al Ayubi
Bahasa: Indonesia
Tahun Terbit: 2020
Halaman: x+ 246 hlm
ISBN: 978-602-5576-50-8
Catatan:
No comments:
Post a Comment