Nuzriah dan Hibah al-Ruqba dalam Kontrak Kepemilikan Bersama (Joint Tenancy) di Singapura
Ideologi hukum terbagi pada dua bagian: sentralisme (legal centralism) dan pluralisme (legal pluralism). Sentralisme hukum didefinisikan oleh John Griffiths (1986) sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satusatunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama (religious law), hukum adat (customary law), dan juga semua bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan lokal (inner-order mechanism) yang secara empiris hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Ideologi ini dipertentangkan dengan konsep kedua, pluralisme hukum, yang didefinisikan oleh beberapa pakar hukum sebagai situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama. Kedua ideologi ini muncul disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari akibat kolonialisasi hingga globalisasi.
Akibat dari perbedaan ideologi tersebut, diketahui terdapat beberapa bentuk hukum dalam suatu negara sebagaimana yang telah di ilustrasikan oleh Marc Hertog (2006). Ragamnya bentuk hukum tersebut telah menyebabkan perbedaan strategi suatu negara dalam menyikapi dan menyelesaikan permasalahan hukum. Pada kasuskasus tertentu, negara dapat memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk memilih bentuk hukum yang akan digunakan sebagai landasan penyelesaian kasus di pengadilan. Namun di balik kebebasan tersebut, negara turut memiliki andil dalam memberi solusi permasalahan hukum yang tidak jarang dari hukum yang dihasilkan tersebut seringkali bertentangan dengan hukum yang dipilih oleh masyarakat – hukum agama maupun adat. Hal inilah yang menyebabkan munculnya istilah konflik antar-hukum. Meski demikian, dialog masih tetap diberlakukan sebagai bentuk interaksi dan komunikasi antar-hukum agar dapat menentukan solusi akhir permasalahan hukum.
Harmonisasi antara hukum agama dan hukum negara pun di lakukan melalui beberapa upaya. Di Mesir dan India misalnya, negara mengarahkan seluruh hakim non-Muslim di Pengadilan Sipil agar menerapkan sistem hukum agama pada kasus-kasus tertentu, baik dengan cara menggunakan undang-undang agama atau dengan merujuk pada beberapa tulisan sarjana terdahulu. Pada kasus Iran, negara mengangkat para sarjana hukum agama sebagai hakim yang bekerja di Pengadilan Sipil. Adapun di negara berpenduduk mayoritas Muslim – seperti Lebanon, Irak, Pakistan, Malaysia dan Indonesia, hukum diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan kasus. Kasus yang berkaitan dengan agama di selesaikan di Pengadilan Agama (religious adjudication), dan kasus selain agama di selesaikan sesuai dengan sistem hukum nasional di Pengadilan Sipil (state adjudication). Mewakili negara berpenduduk minoritas Muslim, Singapura dapat menjadi contoh negara yang turut memiliki dua sistem peradilan – Pengadilan Agama (Syariah Court/SYC) dan Pengadilan Sipil (Civil Court/CC). Namun berbeda dengan negaranegara yang telah disebutkan, model pluralisme hukum yang diberlakukan di Singapura memiliki kecenderungan kesamaan dengan penerapan di beberapa negara sekuler seperti Amerika, Inggris, Kanada dan Uni-Eropa, di mana hukum agama dan hukum negara diintegrasikan dalam sebuah model pengadilan masyarakat (community court model) yang memang digunakan oleh kelompok minoritas. Namun terlepas dari persamaan tersebut, Singapura tetap memiliki kekhasan tersendiri dalam menyelesaikan persoalan hukum keluarga Muslim.
Judul Buku: Nuzriah dan Hibah al-Ruqba dalam Kontrak Kepemilikan Bersama (Joint Tenancy) di Singapura
Penulis: Masayu Fatimah Azzahrah
Bahasa: Indonesia
Tahun Terbit: 2021
Halaman: 296
ISBN: 978-602-5576-81-2
No comments:
Post a Comment