Pembuktian Terbalik dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam
Hukum pembuktian adalah seperangkat kaedah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Hukum pembuktian juga berarti suatu proses dalam acara pidana di pengadilan. Munir Fuady menjelaskan bahwa: Hukum pembuktian harus menentukan dengan tegas di pundak siapa beban pembuktian harus diletakkan. Pada abad ke 20 sistem pembuktian mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berbagai teori pembuktian muncul. Martiman Prodjohamidkojo membagi teori pembuktian kepada dua yakni teori pembuktian tradisional dan teori pembuktian modern. Teori pembuktian tradisional terdiri dari teori negatif, teori positif, dan teori bebas.
Selanjutnya, teori pembuktian modern terdiri dari teori pembuktian dengan keyakinan belaka (bloot gemedelijke overtuiging atau conviction intime), teori pembuktian dengan undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijsthoerie), teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijstheorie), teori keyakinan atas alasan logis (beredeneerde fertuging atau conviction raisonnee), teori pembuktian negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk overtuiging), dan teori pembuktian terbalik (omkeering van het bewisj theori). Sejak dahulu teori tradisional masih berlaku, adapun teori modern masih menjadi perdebatan khususnya: teori pembuktian terbalik.
Pembuktian merupakan identitas sistem hukum yang berlaku di suatu negara. Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum kontinental. Sistem hukum kontinental ini memiliki dua sistem yakni pertama pembuktian sesuai Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yakni pasal HIR, 284 RBg dan pasal 1866 KUH Perdata. Jenis-jenis alat bukti dalam KUH Perdata tersebut adalah surat-surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Kedua pembuktian pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Aturan pembuktian pada Hukum Acara Pidana di Indonesia dijelaskan pada Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP): “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh kenyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Alat bukti pada hukum acara pidana yaitu pasal 184 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 yang merinci macam-macam alat bukti dalam hukum acara pidana yakni: (1) Keterangan saksi. (2) Keterangan ahli. (3) Surat. (4) Petunjuk dan (5) Keterangan terdakwa. Pada pasal 184 Ayat 2 dijelaskan bahwa; hal yang umum dapat diketahui tidak perlu dibuktikan.
Penulis: Gunaldi Ahmad
Bahasa: Indonesia
Tahun Terbit: 2022
Halaman: 300
ISBN: 978-623-5448-10-7
No comments:
Post a Comment